IFTITAH

Selamat Datang di blog kami. blog ini dibuat sebagai sarana komunikasi sekaligus sarana publikasi artikel-artikel yang disusun oleh pemilik blog ini keberadaan blog ini semoga memberi secercah manfaat. Kedepan pemilik blog akan menggunakan nama pena Dzikri Fi Rabbani

Pulang Mudik

Pulang Mudik
Berfose depan pesawat Lion Air

Rabu, 27 Januari 2010

URGENSI IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

URGENSI IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag. [1]

A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan hukum Islam seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejak saat itu sampai saat ini, Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia, bukan hanya pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.[2] Dan hal itu berlangsung ratusan tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda atau Portugis terutama setelah umat Islam memegang tampuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya kerajaan muslim di Indonesia seperti Kerajaan Samudera Pasai, Demak, Banten dan lainnya.

Pada masa reformasi, Hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem Hukum Adat (adatrecht) dan sistem Hukum Barat.[3] Oleh karena itu hukum Islam memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum Nasional. Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka sistem hukum Islam-lah yang memiliki kans yang sangat besar dalam mewarnai dan mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam karena umat Islam merupakan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sedangkan sistem Hukum Adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional[4]

Oleh karena itu, pembaruan dan pengembangan hukum Islam bagi umat Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hukum Islam memiliki karakteristik tersendiri yaitu bersifat ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah (dinamis).[5]

Harakah atau dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang muamalah. Hukum Islam telah menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam metodenya sebagai sebuah instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa yang dikenal dengan istilah kekosongan hukum (rechtvacuum).

B. Perubahan Sosial dan Implikasinya terhadap Pengembangan Hukum.

Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah agar dapat dimampaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya.[6] Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah-Nya, maka Allah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.

Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan manusia baik dampak positip maupun dampak negatip. Dampak positip dari kemajuan iptek adalah kehidupan semakin serba mudah dan serba cepat (instan) tetapi di sisi lain juga melahirkan problema dan masalah yang sangat komplek. Sehingga untuk menjawab dan merespon masalah-masalah tersebut diperlukan hukum yang akomodatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman.

Dalam kondisi seperti ini, apabila hukum yang ada dan sedang berlaku (ius constitutum) tidak mampu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang baru, maka akan ditemukan adanya celah-celah kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang selanjutnya akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut untuk adaptip dan dinamis mengikuti dan menjawab tantangan zaman. Hakim dan para praktisi yang bergelut di bidang hukum ditantang untuk mampu mengisi kekosongan tersebut baik dengan cara menemukan ataupun menciptakan hukum.

Hakim, sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, bukan hanya menjadi mulut atau corong undang-undang (baouche de lalor), tetapi seorang hakim juga dituntut harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan hukum (rechtschepping)[7] dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tentunya dalam hal ini tanpa mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri.

Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.

C. Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam

Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) yang secara struktural meliputi; al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad. Pengakuan atas Ijtihad sebagai suatu sumber hukum didasarkan atas hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal pada saat diutus oleh Nabi menjadi Gubernur Syam. Sebelum pengangkatan tersebut ,Nabi melakukan Fit and profertest untuk menguji kelayakan Muadz dalam menjabat gubernur Syam. Hadits tersebut berbunyi:

عن معاذبن جبل ان رسول الله صلي الله عليه و سلم لما بعثه الي اليمن قال كيف تقضى اذا عرض لك قضاء قال اقضى بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله قال فان لم تجد في سنة رسول الله قال اجتهد رأيي ولا الو قال فضرب رسول الله على صدره و قال الحمد لله وفق رسول رسول الله لما يرضى رسول الله [8]

Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang diridhoi oleh Rasulullah..

Hadits ini oleh para ulama dijadikan dasar pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.

Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya.[9] Ijtihad dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. [10]Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah. Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan kemampuan dalam rangka menegakkan agama Allah meski lapangannya berbeda. Ijtihad lebih bersifat upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam Alqur'an maupun al-Hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam menegakkan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang tidak terbatas dan orangnya dikenal dengan sebutan mujahid. Sedangkan mujahadah menitik beratkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan dan hasrat nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, orang yang melakukan hal tersebut seringkali di sebut salik atau murid.

Para ulama mendefinisikan Ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis.

Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama, mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh. Kelima, mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam.[11]

Disamping itu, ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu: pertama, dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya. Kedua, dalil-dalil yang dhani wurud-nya qath'i dalalah-nya. Ketiga, dalil-dalil yang dhanni wurud dan dalalah-nya. Keempat, terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.[12] Oleh karena itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurud dan dalalah-nya.

Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: pertama, pelaku pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid. Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh syara'.[13]

A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad, yaitu: pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik). Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli sangat menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya. [14]

Dari pemaparan diatas, nampak sekali bahwa ijtihad memiliki peranan yang sangat besar dalam pembaruan hukum Islam. Pembaruan tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Antara pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, saling mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad akan benar pula.[15]

  1. Kesimpulan.

Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia. Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek. Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan, ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.

Hukum sebagaimana menurut Rescue Pond adalah instrument untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engenering)[16] agar tercipta kehidupan yang aman, tertib dan sejahtera terkadang tidak cepat, kurang tanggap bahkan terkadang keteteran menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Hal ini memberikan celah-celah adanya kekosongan hukum sekaligus memberikan kesempatan, peluang dan tangtangan bagi orang-orang yang concern terhadap hukum terutama dari kalangan hakim dan akademisi untuk mengisi kekosongan tersebut dengan cara menemukan dan menciptakan hukum.

Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem Hukum Nasional di Indonesia dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam menghadapi problem-problem baru dampak dari kemajuan peradaban manusia tersebut. Khazanah hukum Islam telah menyiapkan sebuah pranata atau instrumen sebagai solusi permasalahan diatas yang dikenal dengan term Ijtihad.

Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten dan kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problem baru tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam. Ijtihad dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam tatanan Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam dalam mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya instrumen ijtihad ini, Hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya dalam pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang pembaruan hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus- menerus guna mengantisipasi dan mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti sekarang dimana perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.(wallahu 'alam bis shawab)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, th. 1978
  2. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni 2008, Jakarta, IKAHI .
  3. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
  4. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
  5. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2005, Edisi Revisi, cet. 5
  6. Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta PPHIM.
  7. Muchsin, Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta, PPHIMM.
  8. A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25.
  9. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8.



[1] Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009 bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera Utara.

[2] Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi : Upaya Posititivisasi Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari, 2009, PPHIM, hal.164-165

[3] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal, 66-67

[4] Muchsin, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42

[5] Sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia. sedangkan Abdul Manan sendiri dalam buku yang sama menyebutkan adanya empat karakter Hukum Islam yaitu: ketuhanan (rabbaniyah), universal (Syumul), harmonis (wasathiyyah) dan manusiawi (insaniyah) dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, h. 95-103

[6] QS. al-Baqarah ayat, 29

[7] Bagir Manan, Kata Pengantar dalam Buku Abdul Manan Reformasi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal. XV

[8] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Dar al-Qalam, 1978, cet. 12, hal. 21-22; A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, h. 61-62

[9] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25, hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93

[10] A. Djazuli, op.cit , h. 71

[11] Abdul Manan, op.cit, hal. 162-163

[12] A. Djazuli. Op.cit. hal. 72.

[13] Abdul Manan,loc.cit. 162

[14] A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162

[15] Abdul Manan, op.cit. hal. 165.

[16] Rifyal Ka'bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta, hal. 8

HIKMAH SHALAT BERJAMA'AH

HIKMAH SHALAT BERJAMAAH[1]

Oleh : Erlan Naofal

Shalat berjama'ah disamping memiliki keutamaan, kelebihan (fadilah) dan keistimewaan (maziyah) bila dibandingkan dengan shalat menyendiri (munfarid) juga mengandung hikmah dan pelajaran (ibrah) bagi orang yang memikirkannya. Dan barangsiapa yang mengetahui hikmah dan keistimewaan tersebut, maka orang tersebut telah diberi karunia yang besar dan termasuk orang yang diberi anugrah keimanan oleh Allah Swt.

Diantara hikmah-hikmah shalat berjama'ah adalah sebagai berikut:

Pertama, berkumpulnya kaum muslimin dalam saf-saf yang teratur di belakang seorang imam (pemimpin). Hal ini mengisyaratkan bahwa kaum muslimin mesti bersatu karena persatuan merupakan sumber kekuatan dan kejayaan.

Kedua, ma'mun harus mengikuti setiap apa yang dilakukan sang imam dan apabila imam lupa atau salah dalam melakukan gerakan shalat, maka ma'mum mesti mengingatkan sang imam dengan membaca subhanallah bagi laki-laki dan ma'mum tidak boleh keluar dari barisan. Hal ini mengajarkan keharusan untuk patuh dan taat kepada pemimpin selama langkah-langkah yang dilakukannya benar. Disamping itu, shalat berjama'ah mengajarkan kemestian adanya kontrol sosial terhadap pemimpin yang salah dan tidak dibenarkan berontak terhadap suatu kepemimpinan. Dan jika imam batal seperti kentut, maka sang imam harus legowo dan mundur dari kepemimpinan shalatnya lalu digantikan oleh orang yang ada dibelakangnya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang jelas-jelas melanggar hal yang prinsipil yang telah disepakati dan merugikan yang dipimpinnya seperti korupsi, melakukan penghianatan dan lain-lain, maka ia harus legowo mengundurkan diri dari jabatannya.

Ketiga, dalam shalat berjama'ah tidak ada perbedaan status sosial antara orang kaya, yang miskin, rakyat jelata, pejabat, semuanya sama menghadap kearah yang sama, melakukan hal yang sama dan berdiri dalam shaf yang sama. Hal ini mengisyaratkan adanya persamaan derajat dan kedudukan manusia dihadapan Allah SWT. Nilai keutamaan dan kemuliaan seseorang disisi Allah hanya diukur dari tingkat ketaqwaannya sehingga setiap orang mu'min memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk memperoleh keutamaan dan kemuliaan disisi Allah tersebut asalkan dia bertaqwa.

Keempat, shalat berjama'ah menjanjikan kebahagian dan kesuksesan karena ketika waktu shalat tiba, sang muadzdzin menyeru kaum muslimin dengan kalimat:"Hayya 'alasshalat, hayya 'alal falah". Yang mengadung arti wahai hamba-hambaku hendaklah kamu sekalian menuju shalat dan kebahagian. Jika kamu sekalian bersegera menuju shalat dan melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya, maka kamu akan beruntung, bahagia dan sukses meraih apa yang kamu inginkan dan kamu cita-citakan.

Seorang pelayan atau bawahan jika dipanggil atau diperintah oleh tuannya atau atasannya untuk melakukan sesuatu, maka dia akan bergegas dan bersegera melakukan perintah tuannya atau atasannya. tapi mengapa keadaan seorang yang beriman jika dipanggil dan diseru oleh Allah melalui lisan muaddzin itu tidak bersegera dan bergegas memenuhi panggilan agung tersebut. Padahal, dalam kondisi seperti itu memenuhi panggilan adzan tersebut lebih layak didahulukan dari apapun juga. (Sidikalang City, 01 Januari 2010)



HARGA KESUKSESAN

HARGA KESUKSESAN

(sebuah refleksi)

Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag.

Setiap orang siapapun dia dan apapun warna kulitnya, baik hitam, putih maupun sawo matang, tentu mengharapkan dan menginginkan sukses dalam menjalani dan mengarungi hidupnya. Kesuksesan dalam pandangan setiap orang identik dengan kemudahan memperoleh fasilitas yang menyenangkan, mendapatkan status sosial tinggi, kesejahteraan dan kebahagian artinya dalam memori publik setiap orang yang sukses dipastikan orang itu bahagia, sejahtera dan mendapatkan status sosial tinggi, meskipun sebenarnya dalam realita tidaklah pasti seperti itu, tergantung dari ukuran kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan itu meliputi kesuksesan materil dan spiritual. Kesuksesan materil dapat diraih dalam bentuk yang bermacam-macam, memperoleh pangkat dan jabatan yang tinggi, mendapatkan kekayaan yang banyak seperti jadi milyarder, punya mobil, rumah dimana-mana, tanah puluhan bahkan ratusan hektar, punya pabrik, meraih popularitas dan prestasi keilmuan yang sangat mengagumkan. Kesuksesan seperti ini belum tentu melahirkan ketenangan, kedamaian, kenyamanan dan kebahagian.

Untuk memperoleh kesuksesan materil ini ada dua jalan yang merupakan pilihan yaitu jalan putih dan jalan hitam. Jalan putih untuk memperoleh kesuksesan materil adalah jalan yang mengantarkan kepada kesuksesan dengan cara-cara yang dibenarkan, dan diperintahkan agama dan menjauhi cara-cara yang dilarang agama. Kesuksesan yang diperoleh dengan jalan putih seperti ini lebih berpeluang melahirkan kabahagian, ketenangan dan kesejahteraan. Sedangkan jalan hitam dalam meraih kesuksesan adalah dengan menggunakan segala cara tanpa memperhitungkan aturan dan norma-norma agama, seperti untuk memperoleh jabatan berani melakukan mudahanah (menjilat), rasywah (menyogok) dan lain-lain. Kesuksesan yang diperoleh dengan jalan seperti ini adalah kesuksesan semu belum tentu melahirkan ketenangan, kedamaian, kenyamanan dan kebahagian. Kesuksesan dengan jalan ini sering menimbulkan kesombongan, keangkuhan dan digunakan untuk menindas dan mendzalimi orang-orang yang seharusnya ia lindungi, ia ayomi dan ia kasihi. bahkan tidak sedikit orang yang meraih kesuksesan seperti itu bukannya memperoleh kebahagian malah ada yang sampai bunuh diri seperti Marlyn Monroe, Kesuksesan ini hanya berdimensi duniawi yang akan lenyapnya dengan matinya sang pemilik kesuksesan

Kesuksesan spiritual adalah kesuksesan yang melahirkan kebahagian, ketenangan dan ketentraman. Kesuksesan seperti ini hanya dapat diperoleh dengan ketundukan dan kepasrahan yang total atas berbagai aturan yang Allah tetapkan disertai prasangka-prasangka baik kepada-Nya. Segala aturan Allah ia laksankan dengan penuh keikhlasan, ringan tanpa beban dan tanpa paksaan.

Berkaitan dengan kesuksesan, Al-Ghazali mengelompokkan manusia kepada 4 golongan yaitu;

  1. sukses di dunia dan di akhirat.
  2. sukses di akhirat namun kurang beruntung di dunia
  3. sukses di dunia namun merugi di akhirat
  4. merugi di dunia dan di akhirat.

Kesuksesan ideal adalah mampu meraih dan memperoleh kesuksesan secara materil dan spiritual. Banyak orang yang mengharapkan kesuksesan tapi hanya sebatas angan-angan, keinginan tanpa berusaha mewujudkannya.. padahal untuk meraih kesuksesan materil dan spiritual ada harga yang mesti kita tebus. Salah satu harga kesuksesan adalah bekerja dan berkarya.

Bekerja dan berusaha itu ada 3 tingkatan yaitu, pertama : Kerja keras yaitu kerja yang menitik beratkan pada aspek jasmani dan fisik. Kedua, Kerja cerdas yaitu dengan mengoptimalkan daya pikir, daya nalar, srtategi. Ketiga, kerja Ikhlas adalah dilakukan semata-mata karena Allah bukan mudahanah (menjilat) karenanya perbuatan itu bukan hanya berdimensi duniawi tetapi juga berdimensi ukhrowi. Inilah salah satu hal yang harus dilakukan agar kesuksesan dapat diraih. Dunia ini adalah tempat kita menanam dan hasilnya akan kita peroleh nanti di akhirat ( الدنيا مزرعة الأخرة )

Banyak sekali pepatah dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa kesuksesan adalah buah dari kesungguhan dalam bekerja dan berkarya, pepatah tersebut berbunyi:

من جد وجد

Artinya:"Barangsiapa yang sungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan (kesuksesan)".

بقدر الكد تكتسب المعالى #

ومن طلب العلى سهر الليالى #

Artinya:"Ketinggian/kemulyaan hanya akan diperoleh sesuai dengan tingkat kepayahan (pada saat meraihnya). Barangsiapa mencari kemulyaan maka ia tidak tidur tengah malam (berjaga dengan melakukan hal-hal positip)".

Apabila kita mengharapkan kesuksesan dan kebahagiaan, namun kita tidak pernah mau menebus dan membayar kesuksesan itu dengan bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh tadi maka hal itu sama saja dengan mengharapkan sesuatu yang mustahil diperoleh. Dalam bahasa Arab ada kata mutiara yang menyatakan

ترجو النجاح ولم تسلك مسالكها #

ان السفينة لم تجر على اليبس#

Artinya:"Kau mengharap keselamatan kesuksesan, tapi kamu tidak mau menempuh jalan-jalan untuk mencapainya (maka itu mustahil) karena perahu pun tidak akan berlayar ditengah padang tandus".

Kata yang bergaris bawah dalam pepatah Arab aslinya adalah النجاة artinya keselamatan, lalu penulis ganti dengan kata النجاح yang artinya kesuksesan.

Dan jika kita tidak bekerja, berkarya dan berusaha sedangkan orang lain mau berusaha dan bekerja keras, maka pada saat mereka meraih hasil dari apa yang mereka lakukan, kita akan menyesal tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

اذا انت لم تزرع وأبصرت حاصدا # ندمت على التفريط فى زمان الزرع

Artinya:"Jika kamu tidak menanam(pada waktu menanam) dan (saat panen) engkau melihat orang lain sedang memetik hasil tanamannya, niscaya engkau akan menyesali telah menyai-nyiakan waktu menanam.

Bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh merupakan salah satu dari harga dalam meraih kesuksesan disamping harga-harga lainnya seperti berdo'a dan mengikuti orang sukses yang insya Allah akan dipaparkan dalam artikel lain. Wallahu a'lam bishshawab. (Sidikalang City, 25 Nopember 2009)

PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM BELANDA

PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM BELANDA

Oleh : Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag [1]

A. PENDAHULUAN

Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit dari hukum Islam sebagai sebuah agama . Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa “mustahil memahami Islam tanpa memahami Hukum Islam[2]

Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan berakar kuat dikalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Masuknya hukum Islam ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Selanjutnya hukum Islam menancapkan pengaruh yang kuat setelah umat Islam memiliki kekuatan politik di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, dll.

Dalam sejarah hukum di Indonesia, hukum Islam dalam perkembangannya mengalami pasang surut terutama setelah bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan Belanda, Hukum Islam di Indonesia diupayakan sedikit demi sedikit dihapus apalagi setelah Snouchk Hurgronye dengan teori receptie-nya berusaha menghilangkan hukum Islam dengan cara membenturkan hukum Islam dengan Hukum adat (adatrech).[3] Namun upaya tersebut gagal dan sampai sekarang hukum Islam tetap eksis dan memberikan kontribusi besar terhadap terbentuknya Hukum Nasional. Hukum Islam menjadi sumber hukum Nasional selain hukum adat dan hukum Belanda.

Dalam tata hukum Nasional-Indonesia, UU No 1/1974 dan Inpres No 1/1991 merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqh Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam termasuk diantaranya perkawinan dan perceraian.

Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh perhatian yang cukup signifikan terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa terlihat apabila kita mengkaji hukum Islam diatas, niscaya akan kita temukan kedua hal tadi menjadi salah satu objek pembahasan hukum Islam.

Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa diawali perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak tercapai, maka perceraian merupakan jalan keluar (way out) terakhir yang mesti ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang

Dalam hukum Islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan sesuai dengan setting sosial yang melingkupi hukum tersebut. Karena itu, dalam makalah ini, penulis berupaya menyoroti dan memaparkan perkembangan alasan-alasan perceraian dan akibat perceraian menurut Perspektif hukum Islam dan hukum Belanda yang keduanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan memiliki kedudukan cukup vital dalam pengembangan hukum Nasional di Indonesia.

B. Pengertian dan Kedudukan Perceraian

Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian tanpa diawali pernikahan. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk mengarungi kehidupan sebagai pasangan suami isteri dengan dilandasi adanya kerelaan dari kedua belah pihak. Perkawinan dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang memiliki arti penting dalam penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban.[4]

Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqd), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir bathin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju’’.[5]

Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah

حل رابطة الزواج وانهاء العلاقة الزوجية

Artinya: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.[6]

Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[7] Dari uraian diatas dapat diketahui, bahwa Pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tanggga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai way out bagi suami isteri demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian terjadi. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang dibolehkan namun dibenci oleh agama. Berdasarkan sabda rasul

ابغض الحلال عند الله الطلاق (رواه ابو داود والحاكم

Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian

Dalam sebuah hadits, ada ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara. Rasul bersabda:

رائحة الجنة  (رواه اصحاب السنن والترمذى حسنه

أيما امرأة سألت زوجها طلاقا من غير بأس فحرام عليها

Artinya:”Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga”[8].

Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Islam pertama, dalam banyak kesempatan selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf dan jangan menceraikan isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat memuncak diantara suami isteri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seorang hakam dari keluarga pihak suami dan seorang hakam dari keluarga pihak isteri untuk mengadakan perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil, maka perceraian baru dapat dilakukan.

Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri. Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutif oleh H.M Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut, (1) Talak yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam,(2)Talak yang terjadi tanpa putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun kinayah dan ‘ila,(3) fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan salah satu pihak menolak masuk Islam, (4) fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula.[9]

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk mempositip-kan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada (1) Kematian salah satu pihak, (2) Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3) keputusan Pengadilan.[10]

Dalam hukum Belanda, Perceraian dikenal sebagai salah satu penyebab bubarnya perkawinan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 199 BW Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wet Book) disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian.[11]

C. Perkembangan Alasan Perceraian

Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:

وحكما من اهلها ان يريدا اصلاحا

وان خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من اهله

يوفق الله بينهما  ان الله كان عليما خبيرا

Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya (suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi”.

Sedangkan menurut hukum Perdata, perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan didepan sidang Pengadilan.[12] Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.

Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan. Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan, (4) Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.

Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.

- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung

- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.

- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Memperhatikan alasan-alasan perceraian yang diterima dalam hukum Perkawinan Nasional, maka dapat diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak mengenal lembaga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur (scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam pasal 424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan “separation from bed and board”. Selain dari hal ini ketentuan yang diatur dalam hukum positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam Stb.1933-74 pasal 52 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali apa yang tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas.

Perkembangan hukum keluarga di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa alasa-alasan perceraian sebagaimana tersebut diatas sudah banyak dimodifikasi sesuai dengan perkembangan hidup masyarakat. Di negara Belanda dalam pasal 151 N-BW baru Tahun 1971ditetapkan bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya rumah tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage). Sekarang tidak dipersoalkan lagi siapa yang bersalah (matrimonial guilt) sehingga mereka bercerai, yang penting sekarang tidak ada lagi prospek pemulihan hubungan rumah tangga yang bahagia. Pihak suami atau isteri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus menunjukkan bukti kepada hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang tidak dapat diperbaiki lagi.

Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan oleh Penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia telah melakukan pelanggaran dalam perkawinan.. Dalam The Matrimanial Act 1973 ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau isteri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak dapat diperbaiki lagi. Ini adalah satu-satunya alasan perceraian menurut hukum keluarga di Inggris. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perceraian setelah menilai keretakan dari perkawinan tersebut.[13]

Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan pecahnya perkawinan. Peradilan keluarga Belanda dan Inggris menempuh prosedur yang mirip dengan prosedur syiqaq dalam hukum Islam. Langkah pertama setelah perkara terdaftar, pengadilan memberi waktu kedua belah pihak untuk berfikir secara mendalam. Dalam tenggang waktu tersebut, mereka diharuskan berkonsultasi dengan tim ahli masalah keluarga yang mirip dengan institusi hakamain dalam Syiqaq. Hasil kesepakatan mereka akan disahkan oleh Pengadilan. Langkah kedua ialah, bila kesepakatan tidak tercapai, pemeriksaan di Pengadilan baru dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara biasa.[14]

Bustanil Arifin mengutip Dr. S. Jaffar Husein bahwa kemiripan penyelesaian perkara perceraian karena marriage break down dengan prosedur Syiqaq (marriage breakdown itu sebenarnya sudah berarti Syiqaq) membuktikan bahwa dunia sekarang dalam masalah perceraian kembali kepada konsep al-Qur’an.[15]

Sebagaimana telah diuraikan dimuka, Sebenarnya hukum Islam sudah terlebih dahulu menetapkan bahwa alasan perceraian hanya ada satu macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “Syiqaq” atau (broken mariage, marital breakdown). Namun dengan merinci alasan-alasan cerai yang sebenarnya hanyalah indikator dari pecahnya sebuah perkawinan. sebagaimana tercantum dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya Hukum Islam di Indonesia telah berjalan mundur kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) . Sedangkan di Belanda sendiri, ternyata alasan perceraian seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina telah lama ditingggalkan.[16]

D. AKIBAT PERCERAIAN

Dalam hukum Islam maupun hukum Belanda, perceraian yang terjadi antara seorang suami dan isteri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama (gemenshap) dan hak pengurusan anak (hadlonah).

a. Harta Bersama

Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama. Dalam bahasa Belanda disebut gemenschap. Sebenarnya konsep harta bersama dalam hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara tegas menyebutkan hukum harta bersama baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Karenanya hal ini merupakan ranah ijtihad bagi ulama yang memiliki kafasitas untuk melakukan ijtihad atau yang dikenal dengan istilah mujtahid.

Satria Effendi M. Zein menyebutkan bahwa dalam kultur masyarakat muslim berkaitan dengan harta yang diperoleh dalam sebuah pernikahan ada dua kultur yang berlaku, pertama; kultur masyarakat yang memisahkan antara harta suami dan harta isteri dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan adanya istilah harta bersama. Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta yang diperoleh suami isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal dan mengakui adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim yang mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.[17]

Sedangkan dalam hukum Belanda yang terdapat dalam Pasal 119 dan Pasal 126 Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum, terjadilah percampuran harta antara suami isteri yang disebut dengan harta bersama. Hal ini terjadi selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Harta bersama bubar atau berakhit demi hukum disebabkan; kematian salah satu pihak, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta yang dituangkan dalam perjanjian sebelum terjadinya perkawinan. Dan dalam Pasal 127 BW, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para pewaris mereka tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

b. Pengurusan anak

Perceraian disamping menimbulkan adanya pembagian harta bersama seperti yang diterangkan diatas, juga menimbulkan masalah pengurusan anak. Pengurusan anak atau dikenal dengan sebutan hadlonah. Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian antara suami dan isteri, maka isterilah yang berhak mengasuh mendidik dan memelihara anak-anaknya selama anak-nya belum mumayyiz. Hal ini berdasarkan Sabda Nabi kepada seorang isteri yang mengadukan pengurusan anaknya setelah isteri tersebut bercerai dari suaminya. Nabi berkata:”kaulah yang lebih berhak mendidik anakmu selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (Hadits riwayatAbu Dawud dan al-Hakim) [18]

Disamping dua akibat perceraian diatas, khusus dalam hukum Islam ada akibat-akibat lain yang timbul dari perceraian yang tidak ada dalam Hukum Belanda. Dalam hukum Islam ada ciri khas yang tidak ada dalam Hukum Belanda bahwa perceraian tidak sekaligus memutus hubungan suami isteri terutama perceraian dalam bentuk talak raj’i yang memberikan hak ruju’ kepada suami sebelum masa ‘iddah-nya habis.

Untuk lebih jelasnya implikasi yang ditimbulkan perceraian dalam konsep hukum Islam selain yang telah dipaparkan diatas, penulis akan paparkan sebagai berikut:

1. Akibat talak

1.1 Akibat Talak Raj’i

Talak raj’i tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan isterinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).[19]

Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa ‘iddah dan jika tidak ada ruju’. Sedangkan apabila masa ‘iddah telah habis maka tidak boleh ruju’dan berarti perempuan itu telah ter-talak ba’in. Jika masih ada dalam masa ‘iddah maka talak raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan isterinya kecuali bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah ruju’. Selama dalam masa ‘iddah, isteri yang ditalak raj’i masih berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa ‘iddah bekas isteri wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Rasulullah SAW bersabda:

للزوجة عليها الرجعة (رواه احمد والنسائ)

انما النفقة و السكنى للمرأة اذا كان

Artinya:”Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya”. (HR. Muslim).[20]

Berkaitan dengan adanya konsep ruju’ dalam hukum Islam, Syeikh Muhammad Ali As-Shabuni mengutip perkataan Ahmad Muhammad Jamal mengatakan bahwa Hukum Islam memiliki ciri khas dalam masalah perceraian yang tidak dimiliki oleh sistem hukum yang lain yaitu masalah ruju’ atau bisa kembalinya seorang suami terhadap isteri yang dithalak satu dan dua selama belum habis masa ‘iddah ( menunggu). Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menginginkan kembalinya mantan suami dan mantan isteri tersebut dalam ikatan perkawinan sehingga keturunan keduanya dapat terpelihara dengan baik.[21]

1.2 Akibat Talak Bain Shugra

Talak Ba’in Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali dengan mantan isterinya, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas isteri, baik dalam masa ‘iddah-nya maupun sesudah berakhir masa ‘iddah-nya. Termasuk talak ba’in sughra adalah

- Talak qabla dukhul

- Talak dengan penggantian harta atau yang disebut dengan khulu

- Talak karena cacad badan, karena salah seorang dipenjara dan talak karena penganiyaan.

1.3 Akibat Talak Ba’in Kubra.

Hukum talak bain kubra sama dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan hubungan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak bain kubra tidak menghalalkan bekas suami merujuk mantan isterinya, kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat tahlil. Sebagaiman firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 230 yang berbunyi:

حتى تنكح زوجا غيره

فان طلقها فلا تحل له من بعد

Artinya:"Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain".

Perempuan yang menjalani ‘iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana dalam surat al-Talaq ayat 6 yang berbunyi:

ولا تضاروهن لتضيقوا عليهن

اسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم

حتى يضعن حملهن

وان كن أولات حمل فانفقوا عليهن

Artinya:"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin".

  1. Akibat Li’an

Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri. Bagi suami, maka isterinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.[22]

  1. Akibat Fasakh

Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada talak bain dan ada talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.

Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan maupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu juga.

4. Akibat khulu’

Khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suaminya untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan. Perceraian antara suami dan isteri akibat khulu’, suami tidak bisa meruju’ isterinya pada masa ‘iddah. Dan apabila suami dan isteri tersebut ingin kembali maka harus dengan akad baru.

KESIMPULAN

  1. Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan yang sudah tidak mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.
  2. Alasan perceraian senantiasa berkembang mengikuti perkembangan dan perubahan hukum yang merespon perubahan sosial. Alasan perceraian dalam hukum Islam Indonesia yang tercermin dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya telah berjalan mundur kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) yang ternyata telah ditingggalkan oleh Belanda sendiri. Dan hukum Belanda kontemporer memandang bahwa satu-satunya alasan perceraian adalah pecahnya perkawinan (marriage breakdown) yang dalam hukum Islam klasik dikenal dengan term Syiqaq.
  3. Dalam hukum Islam dan hukum Belanda Perceraian tidak hanya mengakhiri perkawinan antara suami isteri. Tetapi, disamping itu perceraian melahirkan akibat adanya pembagian harta bersama dan pengurusan anak. Dan khusus dalam hukum Islam, perceraian menyebabkan adanya ‘nafkah iddah, mut’ah, maskan,kiswah,’iddah, ruju’ dan nisbat anak terhadap ibu saja (perceraian akibat li’an)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Jilid II, Dar al-Fikr, Beirut, Tt.
  2. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Dar al-Fikri, Beirut, Th 1983.
  3. Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004
  4. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
  5. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006
  6. Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No 52 Th XII Mei- Juni 2001, Jakarta, al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam.
  7. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni 2008, Jakarta, IKAHI .
  8. Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah Jakarta 2001
  9. Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2001.
  10. Abdul Kadir Muhammad, perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara Eropah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
  11. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006
  12. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, al-Hikmah, Jakarta, th 1975



[1] Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009 bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera Utara.

[2] Abdul Halim Barkatullah &Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar Yogyakarta., Cet.1 2006, h.145.

[3] Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 2

[4] Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta, hal 7

[5] Ibid.

[6] Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul Fikri, Beirut, Jilid II, h.206 tt.

[7] Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta.No 52 Th XII 2001 h. 7

[8] Sayyid Sabiq. Lokcit.h. 207

[9] Abdul Manan, Lokcit, h.12.

[10] Ibid.

[11]Ibid

[12] Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, al-Hikmah, Jakarta, h. 133, th 1975

[13] Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa HUkum Keluarga di Beberapa Negara Eropa, Citra Aditya Bandung, 1998, h.126

[14] Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI , Jakarta, 2000, h.80

[15] Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah, Jakarta,2001, h. 60

[16] Taufiq, Lokcit, h.80

[17] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana ,Jakarta.Cet.2 h. 60-61

[18] Ibid.

[19] A. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (kencana, Jakarta. 2006 cet.2 h. 265

[20] Ibid

[21] Ali As-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Darul Fikri, Beirut Juz I h. 344

[22] A. Rahman Ghazali, Lokcit, h. 272-276