MENGENAL IMAM AL-GHAZALI
Oleh : ERLAN NAOFAL,S.Ag,M.Ag.
- Biografi singkat al-Ghazali.
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusi. Beliau lahir pada tahun 450 H/1058 M., di desa kecil bernama Ghazlah Thabran,
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang cerdas, brilian, tawadhu, bijaksana, sangat mencintai dan haus terhadap ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, al-Ghazali digelari sebagai Hujjatul Islam, karena kepiawaiannya dan keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu (multi disipliner). Hal ini pernah dituturkan oleh al-Maraghi yang dikutip oleh 'Abd al-Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman dalam kitabnya al-Fikr al-Ushuli, al-Maraghi mengatakan bahwa:
"Apabila saya teringat akan nama-nama ulama yang berpikiran maju, maka saya teringat bahwa Ibn Sina dan al-Farabi adalah dua filosof besar muslim, Ibnul 'Arabi adalah seorang sufi, Bukhari, Muslim dan Ahmad bin Hambal adalah ahli Hadits. Dan apabila saya teringat kepada al-Ghazali, maka tidak terbetik dalam benakku bahwa al-Ghazali adalah satu orang manusia, tetapi terdiri dari beberapa orang manusia. Artinya, al-Ghazali adalah ahli ushul yang mahir, seorang faqih, mutakalli, sosiolog, filosof dan seorang sufi yang zahid".[3]
Beliau lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya seorang sufi yang saleh dengan profesi menjadi pemintal wol. Al-Ghazali pertama belajar Alqur'an langsung dari ayahnya. Sepeninggal ayahnya, al-Ghazali beserta saudaranya, Ahmad dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad bin ar-Razikani, seorang sufi besar untuk dibimbing dan dipelihara. Beliau mengajarkan ilmu fiqh, riwayat hidup para rawi, kehidupan spiritual mereka dan syair-syair tentang mahabah kepada Allah, Alquran dan Sunnah. Kemudian, oleh kawan ayahnya itu, al-Ghazali dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Ditempat ini, al-Ghazali belajar ilmu fiqh kepada Yusuf an-Nassaj yang juga seorang sufi. Setelah tamat, ia melakukan pelajarannya ke Kota Jurjan yang ketika itu menjadi pusat kegiatan ilmiah. Disini al-Ghazali mendalami pengetahuan bahasa Arab dan
Nizhamul Mulk mengangkat al-Ghazali sebagai pengajar pada tahun 1091 M. di Madrasah Nizhamiyyah,
Pada tahun 1095 M, al-Ghazali meninggalkan kedudukan yang terhormat di
Karena desakan para penguasa, dalam hal ini Muhammad saudara Barkijaruq. Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nizhamiyah di Naisabur pada tahun 1106 M. pekerjaan ini pun hanya berlangsung dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke Thus. Kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para mutashawwifun. Beliau meninggal pada tahun 505 H/111 M dalam usia 54 tahun di
- Kondisi Politik pada Zaman al-Ghazali.
Al-Ghazali hidup pada masa umat Islam yang secara politik sedang mengalami disintegrasi. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya daerah-daerah yang berkeinginan melepaskan diri dari cengkraman pemerintah pusat yaitu
Disamping itu, pada periode ini lahir pula pergerakan-pergerakan yang mengarah pada keinginan untuk mencaplok satu sama lain, seperti gerakan Qaramithah yang dimulai pada tahun 874 M. oleh Hamdan Qarmath, seorang penganut paham Ismailiyat di Irak. Pada tahun 899 M, kaum Qaramithah ini dapat membentuk negara merdeka di Teluk
Pada gilirannya, disintegrasi dalam bidang politik tersebut melahirkan disintegrasi dalam bidang kebudayaan dan lapangan agama. Perpecahan diantara umat Islam menjadi besar dengan adanya daerah-daerah yang berdiri sendiri itu. Namun hal itu sedikit memberi pengaruh positip dengan berdirinya pusat-pusat kebudayaan di berbagai
Melihat gambaran diatas, secara umum pada masa al-Ghazali, dunia Islam mengalami kemunduran, baik di bidang politik maupun dibidang kehidupan beragama. Hal ini bila dibandingkan dengan kurun sebelumnya . kekuasaan khalifah di pusat yaitu
- Kondisi keagamaan dan keilmuan pada masa al-Ghazali
Pada masa al-Ghazali hidup, dikalangan umat Islam, perbedaan pendapat dan fanatisme tersebut secara luas dan semarak. Hal ini melahirkan iklim tidak sehat, karena masing-masing mengklaim kebenaran ada hanya pada madzhabnya dan menganggap keliru madzhab lain. Dalam memperkuat argumentasinyaseringkali dikalangan mereka, terjadi diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan.[10]
Majelis-majelis sebagai sarana dan prasarana yang menunjang terjadinya diskusi dan perdebatan dibangun di pelbagai
Disamping dibangunnya majelis-majelis, banyak pula dikarang buku-buku yang menjadi pedoman dan panduan diskusi dalam rangka mengatur jalannya diskusi sehingga tidak keluar dari norma dan etika yang berlaku saat itu. Pada awalnya, dengan adanya pedoman buku itu, diskusi berjalan lancar dan dalam iklim yang sehat, karena memang yang dibicakan biasanya berkisar sekitar ilmu kalam. Namun setelah dalam diskusi, dimasuki ilmu fiqh dan filsafat yang sarat terjadinya fanatisme madzhab, majelis-majelis tersebut berubah seketika menjadi ajang perdebatan sengit tanpa batas.
Dengan demikian, suasana pemikiran pada masa al-Ghazali sarat dengan warna diskusi dan perdebatan yang sangat kontras, sehingga tidak mengherankan kalau dipelbagai
- Karya-karya Al-Ghazali.
Al-Ghazali sebagai seorang yang lahir dalam kondisi pergolakan semacam itu, mampu melahirkan karya yang cukup banyak, diantaranya;
1. Ihya Ulum al-Din.
2. Tahafut al-falasifa.
3. al-Iqtishad fi al-'Itiqad.
4. al-Munqidz min al-Dhalal.
5. Jawahir al-Qur'an.
6. Mizan al-'Amal.
7. al-Maqshad al-Asma fi Ma'ani Asma Allah.
8. Faishal al-Tafriqat baina Islam wa al-Zandaqat.
9. al-Qisthas al-Mustaqim.
10. Kitab al-Mustazhhariy.
11. al-Qaul al-Jamil fi al-Radd '
12. Kitab al-Amal
13. Bidayat al-Hidayat,dll dan diantara karya-karya al-Ghazali tersebut yang banyak dijadikan bahan materi pengajian dan sangat familiar di pondok-pondok pesantren adalah Bidayat al-Hidayat dan Ihya Ulum al-Din.
Semua karya-karya al-Ghazali diatas menjadi indikator bahwasanya al-Ghazali termasuk orang yang mencurahkan segenap kehidupannya dalam menggali dan mencari ilmu sehingga menjadi ulama yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman.[12]
- Kesimpulan.
Dari mempelajari tokoh sekaliber al-Ghazali, dapat diambil beberapa pelajaran yaitu:
- Keterbatasan ekonomi tidak menghalangi seseorang untuk meraih kedudukan intelektual dan spiritual yang tinggi.
- Untuk meraih dan memperoleh kedudukan intelektual dan spiritual membutuhkan pengorbanan dan usaha yang sungguh-sungguh.
- Setiap zaman melahirkan tokoh sesuai dengan setting situasi dan kondisi yang melingkupinya.
- Warisan ilmiah seseorang lebih langgeng, lebih abadi dan lebih bernilai bagi orang-orang sesudahnya meskipun yang meninggalkan warisan tersebut telah lama terkubur dalam tanah (meninggal).
- Mempelajari tokoh-tokoh besar semisal al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, al-Syafi'i, Imam Malik, Abu Hinafah dll, dapat memberikan motivasi dan dorongan bagi orang yang mempelajarinya untuk berbuat dan berkarya seperti mereka tentu dengan kafasitasnya yang berbeda.
D A F T A R P U S T A K A
1. Abd al-Wahhab Ibrahim bin Sulaiman, al-Fikr al-Ushuly, (Mekah: Dar al-Syuruq, 1983).
2. Sya,ban Muhammad Ismail, al-Tasyri al-Islami Mashaadiruhu wa Athwaruhu, (al-Azhar : Bi Majma al-Buhuts al-Islamiyyat, 1977).
3. Purwantana dan Ahmadi, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994).
4. Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
5. Khudlori Beik, Tarikh Tasyri al-Islam, alih bahasa Muhammad Zuhri, (Semarang: Dar al-Ihya, 1980).
6. Badawi Tabanah, Muqaddimat fi Tashawwuf al-Islami wa Dirasat Tahliliyyat li Syakhsiyyat al-Ghzali wa Falsafatuhu fi Ihya, (Dar al-Ihya, t.t)
[1] Abd al-Wahhab Ibrahim bin Sulaiman, al-Fikr al-Ushuly, (Mekah: Dar al-Syuruq, 1983), h.321.
[2] Sya,ban Muhammad Ismail, al-Tasyri al-Islami Mashaadiruhu wa Athwaruhu, (al-Azhar : Bi Majma al-Buhuts al-Islamiyyat, 1977), h. 297; Purwantana dan Ahmadi, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h.166
[3] Abd al-Wahhab Ibrahim bin Sulaiman, op.cit. h. 323
[4] Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 130-131. Purwantana dan Ahmadi, op.cit
[5] Purwantana dan Ahmadi, op.cit
[6]Purwantana dan Ahmadi, op.cit., ha. 167
[7] Ibid
[8] Ibid.hal. 80.
[9] Khudlori Beik, Tarikh Tasyri al-Islam, alih bahasa Muhammad Zuhri, (Semarang: Dar al-Ihya, 1980), hal. 522-523
[10] Ibid, hal. 540
[11] Muhammad Zuhri, op.cit., hal. 132
[12] Badawi Tabanah, Muqaddimat fi Tashawwuf al-Islami wa Dirasat Tahliliyyat li Syakhsiyyat al-Ghzali wa Falsafatuhu fi Ihya, (Dar al-Ihya, t.t), ha. 22-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar